Mempunyai
tekad keras serta berusaha tanpa menutupi muka seringkali tak cukup.
Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, yaitu kemampuan untuk menerima
segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini adalah sebuah
keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan.
Suatu
hari di tepian kota. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Sepasang
suami istri setengah baya itu mengemasi dagangannya. Sang istri
membereskan piring, gelas dan perabot lain. Sedangkan si suami
memasukkannya dalam gerobak.Sesaat mereka menghitung berapa laba yang
masuk. Siapa pun tahu, penghasilan tak selalu datang seperti yang
diharapkan. Terkadang hujan turun, pada waktu lain petugas ketertiban
menghalau, atau kadang semuanya begitu menggembirakan.Manis dan asam
memang bumbu penyedap sehari-hari. Yang pasti, esok, kehidupan sekali
lagi harus dijalani. Mempunyai tekad keras serta berusaha tanpa menutupi
muka seringkali tak cukup. Kita memerlukan sebuah kekuatan batin, yaitu
kemampuan untuk menerima segala sesuatu yang terjadi. Orang bilang, ini
adalah sebuah keberserahan diri, sebuah tawakal, sebuah kepasrahan.
Sepasang suami istri itu berjalan bergegas. Yang laki mendorong gerobak,
yang perempuan terkantuk-kantuk duduk di atasnya. Keduanya berlalu
menembus malam. Hidup memang bukan untuk dijalani sendiri. Tapi
bersama-sama; teman, sahabat, keluarga atau tetangga. Hidup adalah untuk
saling kuat-menguatkan, topang-menopang, serta kasih-mengasihi.
Kita
tidak dapat pungkiri, hidup memang untuk kita jalani secara
bersama-sama, saling membantu, bekerjasama dan saling bahu membahu.
Betapapun kerasnya hidup seakan-akan melemparkan kita kedalam jurang
keterpurukan akan menjadi lebih rileks dan enjoy dengan adanya
pendamping hidup sebagai tempat berkeluh kesah. Itulah artinya sebuah
kebersamaan dengan saling mengerti keadaan kita masing-masing, kasih
mengasihi dan tidak cepat terpancing oleh hasutan yang berbau
menyesatkan.
Dalam
konteks itulah, Islam mengajarkan hidup yang sesungguhnya. Hidup yang
tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan mempertahankan
eksistensi diri. Tapi lebih dari itu, Islam mengajarkan kita meraih
kehidupan yang bermakna, bermanfaat, bertanggung jawab, dan berorientasi
ke masa depan (perhatikan QS 28:77). Esensi kebersamaan dalam hidup
adalah adanya tolong-menolong dalam perbuatan kebajikan dan taqwa (QS
5:2), saling menasehati dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (QS
90:17, 103:3), dan saling mengingatkan dalam keimanan (QS 16:125). Dalam
konteks kehidupan berbangsa, pengalaman empiris bangsa ini telah
membuktikan dengan kebersamaan pendahulu dan pendiri bangsa ini berhasil
meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula dengan negara
Jepang, misalnya, mereka bangkit dan kini menjadi salah satu negara maju
dengan bermodalkan kebersamaan dan tekad yang kuat. Namun kondisi
ironis terjadi saat ini. Dikala bangsa ini belum bisa bangkit dari
keterpurukan multidimensional, sebagian grassroot hingga elite sering
terlibat tawuran. Kaum elite lebih mementingkan bagaimana mempertahankan
dan melanggengkan kekuasaan daripada memikirkan kesejahteraan rakyat.
Sementara penegakan hukum pun jauh dari rasa keadilan masyarakat. Bahkan
satu penelitian menyebutkan bahwa lembaga peradilan bak seperti tempat
lelang dimana orang yang memiliki penawaran tertinggilah yang akan
menang.
Mengembalikan
keadaan seperti semula sangatlah sulit tetapi merubah keadaan menjadi
lebih baik akan sangat bermakna dan bermanfaat bagi kita semua. Tetapi
dengan semangat juang yang tinggi dengan bermodalkan kebersamaan dan
tekad yang tinggi akan lebih mudah menggapai apa yang kita cita-citakan.
Sudah saatnya kita sadar dan bangkit dari keterpurukan. Singsingkan
lengan baju, tahan emosi, tatap masa depan, duduk bersama dan renungkan
solusi untuk bangkit. Mari kita bersama-sama raih dan rasakan indahnya
kebersamaan (Zer0#1).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar